Sejarahqu’s Blog

  • 11:46:54 pm on April 28, 2009 | 0

    (AKHIR KEKUASAAN HINDIA-BELANDA) Penulis: Adi Patrianto S. Dalam perang di dunia modern, negara manapun juga tidak akan bisa menang tanpa angkatan laut yang superior (P.K. Ojong, 1:1). Pendapat tersebut sangat relevan jika menyimak bagaimana Kekaisaran Jepang membangun Angkatan Laut Kekaisarannya (Nihon Kaigun) mhrms-java-dibom-pswt-japsenjadi sebuah kekuatan yang menakjubkan dan modern sejak menjalankan Politik Pintu Terbuka di Era Meiji tahun 1868. Kemudian untuk menambah kedigdayaan armada kapal perangnya, Jepang juga membangun skuadron pesawat tempur yang mampu memberikan dukungan penuh bagi operasional AL, baik untuk pengintaian, penyerangan maupun angkut. Untuk itulah, AL Jepang “berguru” ke Amerika Serikat, Inggris dan Jerman, sehingga berhasil melakukan proses alih-teknologi dengan membuat pesawat tempur dan pembom yang mampu take-off – landing dari/ke atas kapal perang. Tidak hanya itu, Jepang juga berhasil merancang sendiri di dalam negerinya kapal induk pengangkut pesawat (aircraft carrier), berbagai tipe kapal selam dan kapal perang permukaan berbagai ukuran. Namun seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi keangkatanlautan tersebut, kelompok ultra-nasionalis Jepang yang di pertengahan kurun waktu 1930-an berhasil mendominasi pemerintahan dan kehidupan sosial masyarakat di Jepang. Semua itu berujung pada bangkitnya semangat ekspansionis Jepang. Setelah berhasil menaklukkan Manchuria, Semenanjung Korea dan sebagian Cina, Jepang mulai melirik kawasan Asia Tenggara bagian selatan yang kaya hasil alam, terutama minyak, yang sangat dibutuhkan industri mesin perangnya. Guna memuluskan rencananya tersebut, Jepang terlebih dahulu harus mengeliminir kekuatan Amerika Serikat, Inggris Australia dan Belanda di Pasifik serta Asia Tenggara. Ketika perang dimulai, 4 negara seteru Jepang di Asia Tenggara kemudian bergabung dalam Sekutu atau ABDA (America, British, Dutch, Australia). ABDA dipimpin oleh Jenderal Sir Archibald Wavell (Inggris), sementara sebagai Komandan Armada Gabungan adalah Admiral Conrad Emil L. Helfrich (Belanda). Untuk menguasai kawasan selatan, Jepang mengandalkan kekuatan armada kapal perang, yang terdiri atas kapal induk, kapal tempur, destroyer bertorpedo dan kapal selam, serta didukung penuh oleh skuadron udara yang berpangkalan di kapal induk. “Gebukan” pertama AL Jepang terhadap Sekutu diawali dengan membombardir Pangkalan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, tanggal 8 Desember 1941. Setelah melumpuhkan Armada Pasifik, bala tentara gabungan Jepang serentak bergerak menguasai kawasan selatan dengan menggelar Operasi Octopus (Gurita) yang terbagi dalam 2 kolom, yaitu Gurita Timur dan Gurita Barat. Gerakan Gurita yang bertujuan merebut Hindia Belanda dipimpin langsung oleh Rear Admiral Takeo Takagi. Ekspansi Jepang tersebut kemudian dihadapi oleh Sekutu dengan mengerahkan armada kapal perangnya yang berpangkalan di Asia Tenggara, sehingga kemudian meletuslah Pertempuran Laut Jawa pada tanggal 27 Februari 1942 yang akan menjadi penentu nasib Sekutu di Asia Tenggara (kecuali Australia). Jawa -“Benteng Alamo” Asia Tenggara Gurita Timur dalam gerakannya untuk menguasai wilayah selatan, menjadikan Pulau Jawa, Markas Komando ABDA di Pasifik Barat dan sekaligus pusat pemerintahan Kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia, red), sebagai sasaran utamanya. Menyusul sukses meluluh-lantakkan Armada Pasifik Amerika di Pearl Harbor, memasuki paruh awal tahun 1942, AL Kekaisaran Jepang terus merangsek ke wilayah selatan seolah tanpa hambatan berarti. Kejatuhan Singapura yang disusul oleh Kalimantan dan Sulawesi seolah menjadi penanda akan berakhirnya riwayat Sekutu di Asia Tenggara. Dalam menghadapi ancaman serangan dan pendaratan amfibi pasukan Jepang, Sekutu berencana menghadang musuh di perairan Laut Jawa, tepatnya di depan Pulau Bawean. Di atas kertas, seolah perimbangan kekuatan antara 2 pihak yang bermusuhan tersebut, nampak tidak banyak perbedaan. Namun ada beberapa nilai tambah yang dimiliki pihak Jepang, yaitu diperkuat sejumlah pesawat pengintai, kompak, daya jangkau tembakan meriam kapal penjelajahnya lebih jauh dibandingkan penjelajah Sekutu, personilnya bersemangat tinggi dan terlatih, adanya keseragaman bahasa dan kode, serta yang terpenting seluruh kapal perangnya dipersenjatai dengan torpedo. Sementara Sekutu tidak diperlengkapi pesawat intai, lalu kapal perang yang dipersenjatai torpedo hanya 2 yaitu HMS Exeter (Inggris) dan HMAS Perth (Australia), yang terparah tidak ada keseragaman kode serta penggunaan 2 bahasa: Inggris dan Belanda. Semua itupun masih harus diperumit dengan adanya friksi diantara komando Sekutu sendiri, seperti nasib Admiral Thomas C Hart Komandan AL Amerika di Pasifik Barat yang semua perintahnya diabaikan oleh para komandan Belanda, hanya karena tidak senang orang Amerika memimpin perang laut di wilayah Belanda. Sehingga akhirnya Helfrich dengan inisiatif pribadi langsung mengambil-alih komando Armada Gabungan Sekutu di Hindia-Belanda. Adanya ketidak-kompakan diantara pimpinan teras Sekutu kian kentara, ketika Jenderal Wavell menarik mundur seluruh kekuatan Inggris dari Hindia Belanda ke Australia. Pertimbangan jenderal tua veteran Perang Dunia I tersebut, adalah Jawa sudah tidak akan mungkin dipertahankan lagi, apalagi sebagian besar Asia Tenggara sudah ada dalam cengkeraman Jepang. Ditambah lagi, pertahanan Sekutu di Pasifik Tengah, Timor dan Papua sudah kian kocar-kacir yang mengakibatkan posisi Australia menjadi “sangat berbahaya”. Tindakan Wavell kemudian diikuti oleh Jenderal Brereton, Komandan AU Amerika di Pasifik Barat, yang juga memerintahkan penarikan seluruh kekuatan udara Sekutu. Seluruh kekuatan pertahanan Sekutu (ABDA) akan dipusatkan di Australia, sebagai benteng terakhir. Meskipun demikian Sekutu, masih meninggalkan beberapa kapal perang tua dan segelintir pesawat tempur untuk mempertahankan Jawa. Keputusan ABDA tersebut kontan memancing kemarahan pihak Belanda yang merasa dikhianati rekan-rekannya sendiri. Akhirnya semua komando ABDA di Jawa diambil-alih oleh perwira-perwira Belanda. Sekutu telah kalah sebelum bertempur, sementara dua Gurita Jepang terus bergerak mengepung Jawa dan menjadikannya mirip dengan nasib Benteng Alamo di Texas, Amerika, tahun 1836. Saat itu, para pejuang Texas yang mempertahankan Alamo dibiarkan berjuang sendirian, karena pasukan induknya lebih memilih bertahan di sekitar perbatasan Texas (Koloni Mexico)-Amerika, walaupun pasukan Mexico yang berjumlah lebih besar mengepung benteng tua tersebut. Semua itu didasari pandangan bahwa mempertahankan Jawa adalah sia-sia dan hanya akan mendatangkan kehancuran total bagi Sekutu di Pasifik. Bertahan di Australia dipandang jauh lebih rasional dan lebih aman untuk mendatangkan bantuan dari Amerika. Een Mooie Zeeslag Setelah sepenuhnya memegang komando, Belanda bermaksud melakukan peperangan laut terakhir dan menentukan di Laut Jawa dengan mengerahkan seluruh armada Sekutu yang tersisa di Pulau Jawa. Tampaknya Helfrich bermaksud menunjukkan kepada Komando ABDA, bahwa Belanda masih memiliki kehormatan untuk bertempur hingga titik akhir ketimbang melakukan gerakan mundur, sebagaimana yang dilakukan Sekutu di tiap front. Armada Sekutu yang dikerahkan untuk mencegat Gurita Timur Jepang dipimpin oleh Schout Bij Nacht Rear Admiral Karel Willem Frederik Marie Doorman. Kapal perang yang dikerahkan antara lain: Belanda (Penjelajah Ringan Hr. Ms. De Ruyter dan Hr. Ms. Java, Destroyer Hr. Ms. Kortenaer, Hr. Ms. Evertsen dan Hr. Ms. Witte de With), Amerika-US Destroyer Division 58 (Penjelajah Berat USS Houston, Destroyer USS John D. Ford, USS Pope, USS Paul Jones, USS John D. Edwards dan USS Alden), Inggris (Penjelajah Berat HMS Exeter, Destroyer HMS Electra, HMS Jupiter dan HMS Encounter) dan Australia (Penjelajah Ringan HMAS Perth). Selain itu, juga diperkuat oleh sejumlah pesawat tempur jenis Buffalo Brewster dan Glenn Martin. Sebagai kapal bendera adalah Hr. Ms. De Ruyter. Armada Sekutu tersebut harus menghadapi Gurita Timur pimpinan Rear Admiral Takeo Takagi, Penakluk Filiphina, yang ditugaskan untuk menundukkan Jawa. Armada Jepang terdiri atas Penjelajah Berat Nachi dan Haguro, Penjelajah Ringan Naka dan Jintsu, serta diperkuat 14 Destroyer. Sebagai kapal bendera adalah Nachi. Sementara itu untuk mendukung pengintaian juga diperkuat dengan sejumlah pesawat intai dan untuk pendaratan amfibi disertakan sejumlah kapal angkut pasukan. Armada Jepang tersebut mendekati Jawa melalui Selat Makassar dan terus bergerak mendekat ke Pulau Bawean. Sesungguhnya jauh sebelum kedua kekuatan tersebut bertemu, pihak pemenang seolah telah digariskan oleh takdir. Sebagaimana telah disampaikan di awal, kelemahan terbesar pihak Sekutu dalam menghadapi tekanan Gurita Jepang di Hindia Belanda, adalah adanya ketidak-kompakan komando diantara anggota ABDA serta ketidak-imbangan kekuatan di lapangan. Hal tersebut tampak kian nyata saat menjelang pertempuran terjadi. Armada ABDA pimpinan Karel Doorman berangkat dengan kondisi tergesa-gesa, tanpa persiapan matang dan tanpa perlindungan udara yang memadai. Dengan bermodal semangat membara mempertahankan wilayah terakhir Koloni Hindia Belanda, Karel Doorman memerintahkan armadanya berlayar sejak tanggal 25 Februari 1942. Namun, musuh yang dicari-carinya belum dijumpainya karena masih terlalu jauh. Setelah 2 hari penuh berlayar tanpa henti, akhirnya Armada Sekutu tersebut bermaksud kembali ke Surabaya untuk beristirahat pada pukul 09.30 pagi. Namun sebelum rencana tersebut terlaksana, Admiral Helfrich, yang telah mendeteksi kedatangan Armada Gurita Timur di Laut Jawa sejak fajar tanggal 27 Februari 1942, memerintahkan untuk kembali ke sebelah timur Bawean. Menyadari kondisi anak-buahnya yang telah kelelahan dan bahan bakar yang menipis, perintah tersebut sempat diabaikan oleh Doorman yang tetap memerintahkan armadanya terus bergerak ke Surabaya. Pukul 15.00, Helfrich kembali memerintahkan Doorman untuk mencegat musuh yang telah mendekati sebelah timur Pulau Bawean. Akhirnya, tanpa sempat beristirahat, Doorman terpaksa memerintahkan armadanya berputar arah menghadang musuh yang kondisinya lebih segar dan tengah “mabuk kemenangan”. Akhirnya, dua kekuatan tersebut bertemu di sekitar perairan Teluk Banten pada tanggal 27 Februari 1942 pukul 16.16. Guna melindungi diri dari gempuran kapal-kapal penjelajah Sekutu, Jepang kemudian memasang tabir asap dan sempat membingungkan Armada Sekutu yang tidak dapat mengoreksi akurasi tembakannya. Sebaliknya, Armada Jepang tidak sedikitpun terganggu, karena sebelum pecah pertempuran telah meluncurkan 3 pesawat intainya yang berbasis di kapal induk mereka sehingga dapat mengoreksi tembakannya. Pesawat-pesawat tempur Sekutu sempat memberikan bantuan dengan melakukan serangan udara atas kapal-kapal angkut Jepang, namun ironisnya tak ada yang berpikir untuk menghalau pesawat intai Jepang. Penjelajah HMS Exeter yang terlebih dahulu kena hajar torpedo hingga rusak, bermaksud kembali ke Surabaya. Ironisnya, tindakan Exeter tersebut disalah-artikan sebagai manuver pertempuran, akibatnya formasi menjadi kacau. Doorman yang melihat kondisi tersebut, mengeluarkan perintahnya yang terkenal: “Ik val aan, volg mij!” (Saya menyerang, ikuti saya). Namun, perintah tersebut sudah terlambat. Bagaikan masuk perangkap sitting duck, satu demi satu Armada Sekutu dihabisi Jepang. Agar menyelamatkan satuan kapal angkutnya dari incaran kapal-kapal Sekutu, Armada Jepang bermanuver ke arah barat dan langsung dikejar oleh Doorman. Di tengah kegelapan malam, pesawat Jepang melepaskan peluru suar yang menyinari posisi kapal-kapal Sekutu, sehingga Armada Jepang dengan leluasa menembakinya tanpa mendapat balasan berarti. Menyadari posisinya yang tidak menguntungkan, Doorman bergerak ke arah timur (perairan Tuban) yang celakanya justru masuk ke ladang ranjau Sekutu sendiri. HMS Jupiter menjadi korban ranjau Sekutu dan tenggelam. Setelah berhasil menjepit sisa-sisa Armada Doorman, Penjelajah Nachi dan Haguro melepaskan hujan torpedo ke arah De Ruyter, Java dan Perth. Kontan De Ruyter (berikut Doorman) dan Java tenggelam, sementara Perth dengan terseok-seok berhasil lari ke Tanjung Priok. Sementara itu, Exeter dan Encounter ditenggelamkan tanggal 28 Februari. Lalu, Witte de With diledakkan sendiri oleh Belanda di Pelabuhan Surabaya. Pertempuran terus berlanjut hingga tanggal 1 Maret malam. Sisa Armada Sekutu, yaitu Pope, Houston dan Perth dihabisi di Selat Sunda. Sementara itu, Alden, Ford, P. Jones dan J. Edwards berhasil melarikan diri ke Australia. Di pihak Jepang, tak satupun yang tenggelam. Pertempuran laut ini, oleh Helfrich dikenangnya sebagai Een Mooie Zeeslag is het niet geweest (Itu adalah pertempuran laut yang tidak bagus). Tertunda Satu Hari Penghadangan Armada Karel Doorman terhadap konvoi Gurita Timur Jepang di perairan Laut Jawa memang tidak menimbulkan kerugian besar bagi Jepang. Namun pengorbanan Doorman berhasil menunda kejatuhan Pulau Jawa 1 hari dari jadwal yang telah ditarget oleh pihak Jepang. Hindia Belanda sendiri menyerah kepada Jepang pada tanggal 9 Maret 1942 di Kalijati, Jawa Barat. Pada Pertempuran Laut Jawa 27 Februari 1942, diantara 2.300 prajurit Sekutu yang gugur terdapat sejumlah pelaut keturunan Indonesia (pribumi). Di Hr. Ms. De Ruyter saja diperkirakan ada 74 pelaut yang gugur di tempat dari 108 pelaut pribumi. Para pelaut pribumi tersebut rata-rata bertugas sebagai inheemse matroos, stoker dan inheemse jongen.

     

Tinggalkan komentar